Sabtu, 05 Agustus 2017

Meningkatkan Produksi dan Pendapatan Pembenih Lele Dengan Penerapan Teknologi Bioflocs

Fajar Basuki

Laboratorium Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro.
Komplek FPIK Gedung C  Jl. Prof Soedarto SH Tembalang - Semarang.
Email : fbkoki2006@yahoo.c o.id


ABSTRAK
   Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa penerapan bioflocs, peningkatan produksi,dan pendapatan pembenih lele. Penelitian ini dilakukan diDesa Jabungan, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah, Materi yang digunakan dalam penelitian adalah kolam pembenihan ikan lele sebanyak 12 kolam, terdiri dari 2 kolam pemeliharaan induk ukuran 2x4x 1m3 dan 10 kolam pemeliharaan burayak ukuran 3x3x0,3m3. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen, dengan 2 perlakuan dan 5 kali ulangan, analisa  dilakukan dengan membandingkan produksi benih  dan pendapatan pembenih dengan bioflocs dan non bioflocs .
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi  benih umur 1 bulan, pembenihan dengan bioflocs mencapai 7200 ± 130,38 ekor/kolam dan pembenihan tanpa biofloc mendapat  1100 ± 79,06 ekor. Harga benih umur 1 bulan Rp 40,- per ekor. Total pendapatan kotor pekolam pada   pembeihan dengan bioflocs mencapai Rp 288.000,- sedang pembenihan tanpa bioflocs hanya mencapai Rp 44.000,-.  Peningkatan pendapatan pembenihan lele  dengan bioflolcs meningkat hampir  6,54 kali lipat atau 654%.

Kata kunci : meningkatkan pendapatan pembenih lele teknologi bioflocs


PENDAHULUAN

Latar Belakang

     Ikan lele merupakan salah satu produk unggulan budidaya perikanan air tawar, karena rasanya yang enak, sumber protein, harganya murah,  cara pemeliharaannya yang mudah dan disukai oleh seluruh lapisan masyarakat terutama di daerah Jawa Tengah.  Perkembangan produksi lele terus meningkat, dan jumlah pembudidayanya juga semakin meningkat. Target produksi lele konsumsi di Jawa Tengah tahun 2014 sebanyak 166.938 ton apabila Survival Rate(SR) dalam pembesaran mencapai 80% dan ukuran panen sekitar 10 ekor/kg maka kebutuhan benihnya diperkirakan mencapai  2.086.725.000 ekor benih, dan apabila harga benih ukuran 7 cm mencapai Rp 150,-/ekor maka prospek bisnis benih lele mencapai ± 300 milayard rupiah (Basuki, 2013).
        Kebutuhan benih yang begitu tinggi belum diikuti peningkatan kuantitas benih, kondisi ini ditandai dengan data produksi benih yang belum mencapai target.  Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan produksi lele di Jawa Tengah adalah dengan menerapkan penggunaan induk lele sangkuriang sebagai induk unggul hasil  program selective breeding dari Balai Besar Budidaya Air Tawar (BBBAT) Sukabumi yang telah dirilis penggunaan secara nasional (Farida, 2013). Penggunaan induk unggul ternyata belum menjamin keberhasilan pembenihan lele, kondisi menurunnya kualitas lingkungan akibat berbagai aktivitas manusia yang menghasilkan limbah rumah tangga yang mencemari sumber air baku budidaya ikan terutama sumber air untuk pembenihan, karena pada umumnya pembenihan lele skala rumah tangga dilakukan berdampingan dengan aktivitas rumah tangga.
     Sebagai upaya agar pembenihan lele terhindar dari menurunnya kualitas  lingkungan maka diterapkan teknologi bioflocs. Teknologi bioflocs adalah salah satu metode budidaya ikan super intensif dengan memanfaatkan bakteri heterotrophic untuk memanen bahan organic dan amina-N dari sisa metabolisme ikan menjadi protein bakteri.  Bakteri yang berukuran sangat kecil, namun dalam keadaan yang sangat padat cenderung membentuk bioflocs bersama-sama dengan organism lain dan partikel organic yang terdapat di air media. Bioflocs berukuran diameter 50 hingga 200 µm sehingga dapat  dimakan benih ikan lele.
    Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa penerapan bioflocs, peningkatan produksi,dan pendapatan pembenih lele.

METODE PENELITIAN
       
       Penelitian dilakukan di Desa Jabungan, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah, Materi yang digunakan dalam penelitian adalah kolam pembenihan ikan lele sebanyak 12 kolam, terdiri dari 2 kolam pemeliharaan induk ukuran 2x4x 1m3 dan 10 kolam pemeliharaan burayak ukuran 3x3x0,3m3. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen, dengan 2 perlakuan dan 5 kali ulangan, analisa  dilakukan dengan membandingkan produksi benih  dan pendapatan pembenih dengan bioflocs dan non bioflocs.
     Kolam pemeliharan benih disiapkan, diisi air tandon setinggi 30 cm, kemudian diberi garam sebanyak 0,5 permil diaerasi kuat, diberi kakaban untuk menempelkan telur. Telur ikan lele hasil striping sebanyak 20 gram atau kurang lebih 14.000 butir telur. Setelah telur ditebar, diberi larutan metilen blue hingga air nampak kebiruan kegunaan metilen blue untuk mencegah serangan jamur. Hari ke-3 larva mulai makan, diberi larutan telur ayam, 1 butir kuning telur ayam rebus dilarutkan dalam 1 liter air bersih ditambah 10 cc probiotik merk migro (MG) dan 10 cc tetes tebu. Pemberian larutan kuning telur secukupnya selama 2 hari, hari ke-5 larva/benih mulai diberi cacing rambut (Tubifex sp) sampai hari ke-12. Setiap 5 (lima) hari sekali dilakukan penggantian air sebanyak 50% baik kolam bioflocs maupun kolam tanpa biolocs, khusus pada kolam bioflocs kadar garam dipertahankan 0,5  sd 1 promil dan setiap habis diganti air tambahkan 100 cc tetes tebu. Mulai hari ke-13 diberi pakan D0 yang diberi probiotik 10 cc/1 kg pakan dan 10 cc tetes tebu, kemudian meningkat menggunakan pakan psc, aerasi dipertahankan ditambah pompa akuarium 15 watt setiap 1 kolam 1 buah jaga agar benih lele tidak tersedot, mulai hari ke-13 sampai panen tanpa ganti air pemberian tetes tebu rutin 5 hari sekali, panen dilakukan setelah benih ukuran 3-5 cm.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Daya tetas telur (HR/Hatching Rate)

      Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuahan dan daya penetasan telur sangat baik karena prosentase daya tetas telur dalam kolam tanpa bioflocs mencapai 79,40% ± 2,19 dan kolam penetasan dengan bioflocs mencapai lebih dari 79,20% ± 2,17 (Gbr 1). Daya tetas  telur lele dumbo menurut SNI (2000) mencapai 60-80%, hasil penelitian menunjukkan bahwa daya tetas telur sangat baik.


       Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil pembuahan dan penetasan sangat baik, diduga bahwa kandungan nutrisi oosit cukup untuk menjamin proses fisiologi perkembangan embrio sampai menetas, sehingga hasil ini sesuai dengan pendapat Yamashita (2000) yang menyatakan bahwa pada saat pertumbuhan oosit maka akan terjadi akumulasi subtansi yang sangat dibutuhkan untuk perkembangan awal embrio. Penyerapan VTG oleh embrio menurut Sire et al (1994) dijelaskan bahwa  protein kuning dalam embrio terbungkus oleh lapisan synsytial atau periblast, dua buah daun coelemic mesoderm, splanchnopleure dan somatopleure, dan epidermis. Jaringan viteline vascular berkembang didalam splanchnopleure dengan menggunakan jaringan ini  embrio dapat menggunakan protein yang disimpan didalam masa kuning telurnya. Untuk memecah yolk globule,  di permukaan peribalast terdapat zona viteolisis oleh aktivitas thiol proteinase yaitu cathepsin L aktivitas enzym meningkat menyebabkan  globula kuning telur sobek dari masa kuning telurnya sehingga protein dapat diserap.  Prosentase penetasan telur juga dipengaruhi oleh peran pejantan karena faktor sperma yang dikandung pejantan sangat penting pada saat pejantan dipijahkan (Fujaya, 2002).
     Berdasarkan hasil penelitian diatas dan  berbasis perhitungan  Peteri et al (1994) dimana menyatakan bahwa 1 gram telur lele Clarias gariepinus Bhurchell berisi 700 butir. Maka 20 gram telur berisi ± 14.000 butir telur, sehingga dengan prosentase daya tetas telur (HR) dalam kolam tanpa bioflocs mencapai 79,40% ± 2,19 maka diperkirakan larva yang ada ± 11.116 ekor larva dan kolam penetasan dengan bioflocs mencapai lebih dari 79,20% ± 2,17  maka diperkirakan larva yang ada ± 11.088 ekor larva.
                                       
Kandungan Total Amoniak/TOM (mgr/l)


     Setelah ikan diberi pakan maka ada pakan yang dimakan ikan dan ada sisa pakan yang tidak dimakan oleh ikan.  Pakan yang dimakan oleh ikan akan menjadi daging dan hasil metabolism, baik yang diekresikan berupa kotoran padat (feses) maupun urin dan juga diekresikan lewat insang. Feses, urin dan sisa pakan dapat menyebabkan menurunnya kualitas air media terutama meningkatnya amoniak dalam air. Menurut Amir (2012) dan Atjo (2013) menjelaskan bahwa bahan organik-N yaitu pakan ikan, maka oleh bakteri pengurai akan diubah menjadi ammonia (NH3), keberadaan  NH3  dalam media budidaya  ikan harus diwaspadai karena bersifat toksik pada ikan. Menurut Basuki et al (2013) kandungan total amoniak pada pemeliharaan ikan nila dengan sistem bioflocs dapat dipertahankan sebanyak 0,01 mgr/l dengan aerasi tinggi dan pakan ikan yang difermentasi, dan hasil pertumbuhan ikannnya sangat baik.
Hasil pengukuran amoniak menunjukkan bahwa kandungan total amoniak/TOM (mgr/l) awal adalah 0 mgr/l, dan terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah pakan yang diberikan, pada akhir penelitian menunjukkan bahwa kandungan total amoniak/TOM pada kolam tanpa bioflocs mencapai 2,5 mgr/l lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan total amoniak/TOM pada kolam  bioflocs yang mencapai 0,5 mgr/l. (Gbr 2)



        Kandungan TOM yang masih tinggi akan berakibat pada mortalitas ikan dan timbulnya berbagai macam penyakit lele sehingga mengakibatkan SR benih rendah dan pendapatan pembenih menurun.

Produksi dan Pendapatan


       Setelah ikan umur 30 hari diseleksi kemudian dihitung, hasil penelitian menunjukkan bahwa lar-
va yang dipelihara dalam kolam tanpa bioflocs menghasilkan produksi benih sebanyak 1100 ± 79 ekor dengan SR 9,90 % dan larva yang dipelihara dalam kolam dengan bioflocs menghasilkan produksi benih sebanyak 7200 ± 130 ekor dengan SR 64,94 % dibandingkan dengan SNI (2000) SR larva lele pada pendederan 1 atau P1 bisa  mencapai 60%. Rendahnya SR dan banyaknya kematian ikan diduga sebagai akibat dari tingginya total amoniak (tom) dalam kolam pemeliharaan hal ini sesuai dengan pendapat Atjo (2013) dan Basuki et al (2013). Larva yang dipelihara dalam kolam dengan bioflocs menghasilkan SR 6,56 kali lebih tinggi dibandingkan dengan larva yang dipelihara dalam kolam tanpa bioflocs.
                           
                               
       Adapun hasil pendapatan pembenih dengan kolam bioflocs yang menghasilkan produksi benih sebanyak 7200 ± 130 ekor dengan SR 64,94 % , dan harga benih Rp 40,-/ekor maka total pendapatan pembenih perkolam sebanyak Rp 288.000,- perkolam sedangkan pendapatan pembenih dengan kolam tanpa bioflocs yang menghasilkan produksi benih sebanyak 1100 ± 79 ekor dengan SR 9,90 %  ekor dan harga benih Rp 40,-/ekor maka total pendapatan pembenih perkolam sebanyak Rp 44.000,-. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan pembenih lele dengan kolam bioflocs mendapatkan hasil 6,55 kali lipat dibandingkan dengan pendapatan pembenih lele dengan kolam tanpa bioflocs.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

          Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Produksi  benih umur 1 bulan, pembenihan dengan bioflocs mencapai 7200 ± 130,38 ekor/kolam         dan pembenihan tanpa biofloc mendapat  1100 ± 79,06 ekor. Harga benih umur 1 bulan Rp 40,- per    ekor. Total pendapatan kotor pekolam pada   pembeihan dengan bioflocs mencapai Rp 288.000,-         sedang pembenihan tanpa bioflocs hanya mencapai Rp 44.000,-.
2. Peningkatan pendapatan pembenihan lele  dengan bioflolcs meningkat hampir  6,54 kali lipat atau       654%.
3. Total amoniak(TOM) dalam kolam pembenihan tanpa bioflocs lebih tinggi disbanding dengan             kolam yang dilengkapi dengan bioflocs.

Saran
Untuk meningkatkan produksi benih sekaligus pendapat pembenih maka sudah saatnya diterapkanlah teknik pembenihan ikan lele dengan bioflocs.

UCAPAN TERIMA KASIH

       Dengan selesainya program pengabdian kepada masyarakat sekaligus terselesaikannya penelitian ini maka penulis mengucapkan terima kasih kepada PT Pertamina dan Kementrian Badan Usaha Miliknegara (BUMN) dengan program CSRnya  serta LPPM Universitas Diponegoro yang telah membantu masyarakat Desa Jabungan Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Agus Suherman SPi., MSi., Dr.Ir. Suradi MS., Dr. Abdul Kohar SPi., MSi., Moh Zulfa Zain SPi., MSi., Koirul SPi., Edy SPi., serta kawan-kawan lain dan masyarakat Desa Jabungan atas seluruh bantuannya sehingga program CSR bejalan lancar.    

Daftar Pustaka.

Amir, S., 2012. Manajemen Pakan Untuk Peningkatan Produksi Secara Efisien . Makalah disampaikan pada pelaksanaan Industrialisasi  Perikananan Budidaya  dalam upaya peningkatan nilai tambah produk, produksi dan peningkatan pendapatan khususnya pembudidaya ikan, Bogor 12-14 November 2012

Atjo, H., Budidaya Udang Vaname Supra Intensif. Strategi Menuju Industrialisasi
Berbasis Blue Economic. Forum Konsolidasi Perikanan Budidaya Golden Flower Hotel, 3 – 5 Juni 2013  Bandung, Jawa Barat

Basuki, F., 2013. Pembenihan Ikan  Lele. Makalah PELATIHAN BUDIDAYA IKAN LELE, Tanggal  28-29  0ktober 2013 Di Kabupaten  Semarang. Dinas Kelautan Dan Perikanan Propinsi Jawa Tengah.

Basuki F., Sri Hastuti Dan Subandiyono. 2013. Performa pertumbuhan ikan nila larasati (Oreochromis niloticus) yang dipelihara dengan teknologi bioflocs. Artikel Ilmiah Hasil Penelitian yang dibiayai BOPTN tahun 2013 Universitas Diponegoro.

Farida, R., 2013. Standarisasi Sarana Produksi  Perikanan Budidaya. Makalah Dit. Produksi – Ditjen Perikanan Budidaya. Semarang April 2013.

Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Rineka Cipta. Jakarta. Hal 131-150.

Peteri,A. Shibabrata N. And  Samarendra N. Ch.,  1994. Manual on seed production of african catfish (Clarias gariepinus). FOOD AND AGRICULTURE ORGANIZATION OF THE UNITED NATIONS. http://www.fao.org/-docrep/field/003/AC378E/AC378E00.HTM Tgl 01-04-2014

SNI., 2000. Produksi benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x c. fuscus) klas benih sebar. Standar Nasional Indonesia No : 01.6484.4 - 2000

Sire, MF,  Babin P J,  Verner, JM., 1994.  Involvement of the lysosomal system in yolk protein deposit and degradation during vitellogenesis and embrionic development in trout. J. Exp Zool  269 : 69-83.

Yamashita, M., 2000. Toward modeling of a general mechanism of MPF Formation during oocyte maturation in vertebrates. Zooll Sci 17 : 841-851.

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar